Minggu, 30 November 2008

Temaram Senja

Dor! Dor! Dor!
Samar–samar, rentetan bunyi senjata yang memekakkan telinga kembali terdengar. Peluru panas melesat menghujam tubuh-tubuh kurus kering yang terseok-seok tak berdaya. Harus ke mana kaki mereka menapak? Toh mereka telah terlambat untuk menyelamatkan diri dan terperangkap. Serdadu berkuda mengepung di tiap penjuru. Nasib sudah di ujung tanduk. Moncong pistol mengarah tepat ke kepala. Seluruh sandera ketakutan, pucat pasi. Sekelebat bayangan kematian menghantui pikiran mereka. Hening…., hanya sesekali terdengar ringkikan kuda yang memecah kesunyian. Suasana mencekam mencengkeram erat tiap detak jantung dan deru nadi warga desa Sukamandi tanpa terkecuali. Mereka yang beruntung, di dalam persembunyiannya menangis pilu meratapi nasib ayah bundanya, anak, istri, saudara, dan entah siapapun yang tertangkap di luar sana.
“Beri jalan! Buka barisan,”terdengar komando dari belakang. Sesuai instruksi, perlahan prajurit-prajurit berseragam biru itu menggiring kudanya untuk membuat celah masuk. Kini terlihat jelas menanti di ujung lain seorang pria paruh baya dengan lencana yang menyilaukan dan atribut penuh sesak berjejalan di bajunya. Tampaknya ia seorang yang berkedudukan cukup tinggi. Entahlah. Tak begitu jelas terlihat. Sinar mentari telah mengaburkan bentuknya. Kuda hitamnya bergerak memasuki barisan terdepan. Setengah jijik ia memincingkan matanya, memandang warga desa yang bergetar ketakutan.
“Hahaha! Bagaimana? Apa kalian menikmatinya??”ucapnya lantang, setengah tersenyum. Seringai iblis terpancar jelas dari wajahnya yang bengis.
“Tentu saja Kolonel!”serentak anak buahnya menjawab.
“Sangat menyenangkan! Kami benar-benar menikmati perburuan kali ini! Hahaha…!”jawab yang lain.
“Ya…ya…. Memang selayaknya tikus-tikus pembangkang ini dibasmi! Dengarkan tikus-tikus kecil…, ini akibat yang harus kalian terima bila tidak mau menuruti perintah kami!”desis Kolonel, kemudian ia mengangkat senapannya.
Dor! Peluru menembus kepala Pak Sudarmin. Tubuhnya yang telah menua itu terkulai lemas tanpa daya. Darah mengucur deras dari lubang di kepalanya, otaknya hancur. Nafasnya perlahan menghilang.
Kolonel Jeff, begitu ia biasa dipanggil, tersenyum puas, kemudian ia menatap satu persatu wajah-wajah di hadapannya.
“Mana penduduk desa yang lain?! Apa hanya segini saja?!”tanya Kolonel Jeff.
“Lapor Kolonel! Tampaknya isu perburuan kali ini telah bocor. Banyak penduduk yang telah terlebih dahulu lari keluar perbatasan. Sebagian besar warga diyakini telah berlindung di basis-basis persembunyian mereka. Namun kami tidak bisa menemukannya, Kolonel”selesai melapor prajurit itu kembali ke barisannya.
“Tolol kalian semua!”ia geram. Tak seorangpun dari pasukannya mampu menemukan sisa-sisa penduduk lainnya. Mereka sirna begitu saja. Bumi seakan menggulung dan menyimpan rapat di kerak terdalamnya hingga tak seorangpun mampu menjamahnya. Semuanya tersusun rapi, tangkas, antisipasi yang sangat tepat. Seakan-akan seluruh rencananya telah gamblang terbaca. Siapa yang berani-berani menggagalkan stateginya??
“Hei penduduk desa! Cepat keluar dari gorong-gorong kalian, tikus busuk! Sudah berkali-kali kami peringatkan! Kalian harusnya tahu diri! Angkat senjata untuk kami atau mati di tangan kami. Pilih salah satu. Sangat mudah bukan?!”kata Kolonel sadis. Codet di keningnya ikut berkerut.
”Cuih! Pemberontak! Mana sudi kami mendukung gerakan kalian mengudeta negeri kami sendiri. Negeri yang kami cintai!” gagah berani seekor tikus angkat bicara. Suaranya menggelegar dari tengah-tengah kerumunan, meneriakkan jerit nuraninya.
“Oh! Tikus yang menarik. Berani benar kau bicara. Kupikir semua warga desa ini bisu! Salut aku akan keberanianmu, tapi sayang bukan kalimat itu yang seharusnya terlontar dari bibirmu…. Habisi dia!”perintahnya.
Dor! Dor! Dor! Tak kurang dari lima orang menjadikannya sasaran tembak.
“Siapa yang memerintahkan kalian untuk bicara?! Tikus-tikus berisik! Mencicit berulang-ulang. Kutanya sekali lagi, apa kalian mau membantu kami?!”kali ini kolonel sedikit memaksa.
“Bedebah kau! Kami tak kan mencoreng harga diri dan kecintaan kami, kebanggaan kami untuk negeri ini! Merdeka!”
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” seruan membahana disusul dengan rentetan bunyi senjata. Hujan peluru kembali jatuh dan membasahi tanah Desa Sukamandi dengan darah penduduk yang menghitam, pekat oleh kebencian.
“Huh! Itu akibatnya bila membangkang! Kalian cecunguk kecil tak ayalnya seonggok sampah bagi kami. Jangan macam-macam! Camkan itu.”tegas Kolonel Jeff.
Gelegar tawa dan derap kaki kuda melebur menjadi satu, semakin redup dan menjauh lalu perlahan menghilang. Sepi. . . . . lalu serentak isak tangis pecah. Tergopoh-gopoh penduduk desa keluar dari persembunyiannya dan berlari menuju tanah lapang menyaksikan keluarga mereka tak lagi bernyawa.
“Kejam sekali mereka! Hiks….suamiku! “ seorang wanita paruh baya tersungkur di depan jasad suaminya, mengguncang-guncang badannya, berharap suaminya akan bangun dan memeluknya. Namun sia-sia belaka. Tak jauh darinya seorang anak kecil mencari ayah dan ibunya di tengah gunungan mayat. Jelaslah ia yatim piatu dan terlunta sekarang. Tak ada sanak saudara, tak ada yang dikenalnya, ia, anak 12 tahun yang malang.
“Ayah….Ibu…. tega sekali kalian meninggalkan ananda sendiri. Kejaaam! Huaaa….”berderai air matanya di pipi. Pada siapa ia akan menggantungkan nasibnya, entahlah…..
Rumput memerah. Langit memerah menyongsong senja. Iringan pemuda pemanggul cangkul telah datang dan mulai bekerja, menggali di sela isak tangis mereka, mengebumikan korban-korban kebiadapan para tiran.

Semilir angin sepoi-sepoi. Membelai lembut hamparan padi, berayun kecil. Menggoyangkan dedaunan yang sedari kemarin diam membisu. Kemudian ia terbang dan menyapa mentari, bermanja-manja sejenak padanya. Lelah bermain, ia memutuskan untuk beristirahat. Tatapannya terpaku pada seorang pria yang tengah bermuram durja. Wajahnya yang tampan kusut oleh masalah-masalah yang berputar di benaknya. Sesekali ia menghela nafas, bingung, pasrah, marah dan kecewa. Angin tak sampai hati melihatnya. Ia terbang rendah dan duduk di samping pria itu.
“Hei Manusia…Aneh sekali. Mengapa di pagi yang cerah ini hatimu malah terbenam? Mengapa ia tidak terbit layaknya sahabatku, mentari?”tanya angin pada pria itu, tapi ia tak yakin pria itu mampu mendengarnya. Ditunggunya semenit..dua menit…hangga beberapa menit berlalu. Tak ada jawaban. Dipeluknya pria itu dan berharap kesedihannya bisa sedikit berkurang.
“Ah…angin. Sepagi ini kau sudah berhembus kencang. Riang sekali hatimu hari ini.” Ia terdiam, lalu dilanjutkannya. “Angin….dapatkah kau rasakan gemuruh di hatiku? Sudah kucoba sekuat tenaga untuk menyelamatkan penduduk desa, tapi apa daya. Mengapa masih ada yang tertangkap dan dibunuh? Ini semua kesalahanku, kebodohanku! Aku telah membunuh 17 warga yang tak berdosa. Dosaku tak terampuni….”ia terisak kecil. “Namun hati ini lebih sakit, sakiit sekali. Tak kusangka Jeff sahabatku, yang sudah lima tahun tak bertemu dua hari lalu berdiri gagah di depanku. Semenjak aku memutuskan diri keluar dari kemiliteran aku kehilangan kontak dengannya. Atau aku yang sengaja menghilangkan diri? Sudah cukup muak aku menjadi anjing militer. Terlihat kokoh di luarnya tapi busuk di dalam hingga ke tulang. Dan di neraka itulah kutinggalkan Jeff seorang diri. Ah…lagi-lagi dosaku…. Kini ambisi Jeff menegakkan keadilan telah melewati batas, hingga ia terjerumus. Keluh kesah yang dulu selalu ia lontarkan, ketidakpuasannya akan militer dan negeri ini membuat ia mengangkat senjata dan memimpin kudeta. Benar-benar pemikiran yang khas.” Helaan nafasnya sangat berat, seakan ingin menerbangkan seluruh masalahnya.
Angin hanya termangu mendengarkan cerita pria itu. Masih terekam jelas perburuan dua hari lalu. Yah…istilah perburuan kerap digunakan untuk menyebut tindakan membabi buta mereka dalam menggalang anggota. Penduduk tak berdosa diharuskan bergabung, atau kematian yang harus mereka hadapi. Mereka tak segan-segan membunuh seperti halnya peristiwa di desa Sukamandi. Darah bermuncratan di mana-mana hingga mengotori jubahnya. Jeff bengis itu nuraninya telah mati. Jeff kini layaknya binatang buas bertaring tajam. Namun binatang tetaplah binatang, tak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Pria di sebelahnya bangkit dan bersiap untuk beranjak pergi. Ia mengusap matanya yang sembab. Tak selayaknya seorang pria menangis di medan perang.
“Pak Sunardi! Pak Sunardi!” sayup-sayup terdengar teriakan seseorang. Pria itu menoleh. Tampaknya ia yang dipanggil. Pria itu,…hmm…Sunardi namanya…. Angin bergumam dalam hati. Senang sekali ia bermain hari ini. Teman barunya sangat mengesankan.
Orang itu kini telah sampai di hadapan Sunardi. Keringatnya mengucur deras. Pastilah ia berlari-lari dalam perjalanannya ke sini.
“Pak,…Anda… dipanggil…oleh Kepala Desa. Katanya…penting sekali. Dimohon kehadiran Bapak…saat ini juga” katanya terengah-engah. Ia mencoba mengatur nafasnya.
“Ha? Ada apa gerangan? Apa Kepala Desa tidak menitipkan pesan apapun padamu?” tanya Sunardi.
“Tidak… Ia hanya menyuruh Saya memanggil Anda. Mari Pak..” lelaki itu berjalan di depan, Sunardi mengikuti dari belakang. Angin hanya mampu memandang siluet mereka dari belakang. “Selamat tinggal … Berjuanglah kawan baruku. Medan perang telah berulang kali memanggil namamu. Semoga kita bisa berjumpa lagi.” Lalu terbanglah Angin ke peraduannya.

Sampai juga Sunardi di depan ruang pertemuan intern di Balai Desa. Biasanya hanya pejabat desa saja yang boleh menggunakan ruanan ini untuk rapat. Ragu-ragu ia mengetuk pintu kayu itu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…” Pak Kades membuka pintu. “Oh…Nak Sunardi…mari masuk.” Ajaknya. Sunardi melangkahkan kakinya dan mengamati sekeliling. Burung Garuda yang besar dan terlihat megah menarik perhatiannya pertama kali. Sungguh ia kagum. Kemudian ia mendengar suara berbisik. Dialihkannya pandangan ke depan. Tampaknya Pak Kades sudah mengundang semua pria di desa ini. Hebat juga ruangan itu mampu menampung semuanya.
“Ehm… mohon perhatiannya sebentar Bapak-bapak. Inilah Sunardi, putra kebanggaan desa Sukamandi. Tanpa pertolongan dan jasa-jasanya maka kita semua sudah mati dalam peristiwa kemarin. Basis persembunyian yang kita bangun atas sarannya dulu terbukti sangat berguna dan menyelamatkan warga desa ini dari kekejaman mereka. Sungguh biadab.” Sejenak ia berhenti, mengusap air matanya. Seluruh ruangan berdesis. Mereka mengagumi kecerdasan Sunardi dan menghujat kekejaman pemberontakan Jeff. “Namun kita tidak bisa terus berdiam diri, kita harus melawan, kalau tidak seluruh desa ini akan dibantai habis. Apa kalian mau?!”tanya Pak Kades. Tampaknya ia tak perlu menunggu jawaban yang jelas karena beberapa warga bereaksi ekstrim atas ucapannya tadi
“Ya, saya mengerti. Mana ada yang mau menyongsong kematian di depan mata. Lalu menurut kalian apa yang terbaik untuk desa ini? Apa memang seharusnya kita membuang nasionalisme kita dan bergabung dengan mereka?”
“Tentu saja tidak!”teriakan Pak Karmin mendominasi di antara seruan lemah lain.
“Lebih baik saya mati daripada harus menghianati negeri ini! Baru beberapa tahun lalu kita berperang bersama melawan penjajah untuk dapat merdeka. Tidak mungkin saya menghianati sumpah setia pada negeri! Mati sekarang pun tak ada bedanya. Selamat dari perang besar itu saja sudah merupakan anugerah. Paling tidak saya bangga bendera merah-putih masih berkibar di hati saya!” ucapnya menggebu. Sungguh berani sekali ia. Riuh tepuk tangan dari seluruh warga ditujukan padanya. Ucapan Pak Karmin telah menyulut kobaran semangat di hati masing-masing pria yang hadir di ruangan itu. Mereka bertekad bulat untuk tidak menyerah pada pasukan pemberontak.
“Bagaimana Sunardi? Apa kau punya jalan pikiran lain?”tanya Pak Kades.
“Ehm…saya rasa apa yang disampaikan oleh Pak Karmin benar adanya, tapi kalau akhirnya kita semua mati sungguh ironis sekali bukan? Lalu siapa yang akan mendongengkan kisah perjuangan yang membanggakan ini pada anak cucu kita nanti? Yaah…lagipula apa enaknya jadi pahlawan tanpa nama? Haha…”
“Ah, bisa saja kau. Lalu menurutmu apa yang harus kita lakukan?” Pak Kades merasa Sunardi punya pemikiran lain.
“Bagaimana bila kita kosongkan desa ini secepatnya?” kata Sunardi.
“Hah?? Maksudmu?” celetuk salah seorang warga.
“Ya Pak Budiman, kita akan mengungsi ke arah timur dan menyebrangi sungai Lembayu. Saya rasa dua hari cukup untuk bersiap-siap dan membuat beberapa rakit. Lusa malam kita bisa mulai bergerak, bagaimana?” Sunardi menunggu reaksi dari warga.
“Tapi Sunardi, kenapa kita harus menyeberang sungai malam-malam? Itu sungguh beresiko! Mengapa kita tidak mengungsi secepatnya ke desa-desa terdekat saja?” salah satu warga tampaknya tidak setuju.
“Ah…bagaimana kau ini Pak Wiyoto, kalau mengungsi ke desa seberang tentu kita harus melewati jalan desa. Itu sama halnya cari mati. Sasaran empuk bagi mereka untuk menghabisi kita. Sedangkan jika kita lari ke timur dan masuk hutan, sulit bagi mereka yang tak hapal medan untuk mengejar. Lagipula tak mungkin mereka menyerang desa sambil membawa-bawa rakit bukan? Bagaimanapun langkah pertama telah kita menangkan.”puas juga ia menjawab pertanyaan Pak Wiyoto.
“Kau memang hebat Sunardi, rencanamu sungguh brilian.” Pak Kades memujinya. “Baiklah, apa ada yang merasa kurang puas? Atau kalian ingin menambahkan sesuatu?”tanya Pak Kades.
Hening…semuanya tampak berpikir keras. “Kami rasa rencana itu sudah mantap Pak? Bagaimana teman-teman?” tegas Pak Wiyoto dan dijawab dengan anggukan dari masing-masing kepala.
Sunardi puas. Pak Kades memberi instruksi.” Baiklah kalau begitu. Kita harus segera membagi kelompok agar lebih mudah dalam bersiap-siap. tiap kelompok sesegera mungkin menyelesaikan tugasnya. Lebih cepat lebih baik. Jangan lupa beritahu anak istri kalian.Urusan perbekalan lebih baik kita serahkan pada para wanita. Tiap kelompok diharap kumpul di aula balai desa satu jam dari sekarang, jangan ada yang terlambat!” Serentak mereka beranjak dari kursi dan bergegas lari ke rumah masing-masing untuk mengabari keluarganya. Bahu membahu mereka bekerja hingga tanpa terasa dua hari telah berlalu. Malam telah turun. Bulan menggeliat enggan. Desa bagai mayat, sunyi senyap. Jalanan legang, tak seorangpun keluar rumah. Was-was mereka menunggu aba-aba untuk mulai bergerak. Dibukanya telinga lebar-lebar. Sebagian warga lain memanfaatkan waktunya untuk berdoa. Memohon pada Ilahi. Agar selalu benar melangkah. Agar rencana yang mereka susun berhasil. Agar mereka selamat. Tok! Tok! Tok! Tok! Kentongan bertalu. Aba-aba telah dibunyikan. Semua orang bergegas memikul perbekalannya dan lari ke balai desa. Lima menit waktu yang diberikan Sunardi pada mereka. Tidak boleh ada yang terlambat. “Bagaimana? Apa semua warga sudah berkumpul?” Sunardi bertanya pada kerumunan warga yang tak henti berbisik. Namun tak seorangpun menjawab. “Nak Sunardi, saya rasa semuanya sudah berkumpul dan tak sabar untuk memulai perjalanan mereka,” ucap Kepala Desa. “Ya…sebaiknya memang begitu. Hm….ayo semua ikuti aku, pegang erat anak istri kalian, jangan sampai ada yang terpisah” Sunardi memimpin rombongan memasuki hutan. Gelap gulita. Sangat mustahil untuk mencari rute melintasi hutan dalam keadaan seperti ini. Untung saja ia telah mengikat perca di ranting-ranting cabang sebagai tanda. Dilepasnya kain-kain itu agar jejak mereka tak terlacak. Berkali-kali mereka tersandung dan jatuh, tapi kobaran semangat mereka tak menyurut sedikitpun. Susah payah akhirnya mereka mencapai tepi sungai Lembayu. Senyum merekah di bibir mereka. Terbayang kehidupan baru yang aman, damai, dan bahagia menanti di seberang dan melambakan tangannya. “Cepat semua turun ke ke rakit masing-masing. Waktu kita tidak banyak.” Perintah Sunardi. Warga lekas menempatkan diri. Para lelaki memegang bambu sebagai dayung masing-masing. Sungai Lembayu sangat lebar dan arusnya cukup deras. Jika tak imbang sedikit saja rakit bisa terbalik dan mereka tenggelam. Total ada lima rakit yang siap menyeberang. “Baiklah! Kita dayung bersama-sama. Satu….Dua…” “Yak! Cukup sampai di situ tikus-tikus laknat!” seluruh warga desa membeku. Lidah mereka kelu. Gema suara itu… Siluet pasukan bersenjata haus darah yang mengerikan bermunculan dari balik pepohonan. Jeff terlihat jelas di depan. Pasukannya telah menunggu di kedua bibir sungai. Warga desa terperangkap. Kosong. Otak mereka kosong dan tak mampu berpikir. Mata mereka terbelalak melihat kenyataan ini. Puluhan dewa kematian berselempang senapan siap mencabut nyawa sewaktu-waktu. “Hahaha… Kenapa kalian bertanya-tanya tikus kecil? Kemana semangat kalian tadi?! Hahahaha….”Jeff tertawa, “Ah ya. Aku lupa untuk berterima kasih pada teman kalian. Kemarilah…” Seorang prajurit berseragam biru maju dan berhenti di sebelah Kolonel Jeff. “Wiyoto! Biadab kau!” kemarahan mengaum dari mulut tiap orang. Mereka tak menyangka saudara mereka sendiri tega menjual desanya untuk mencari keselamatan pribadi. “Hahaha…jangan kalian salahkan Wiyoto. Justru ia pintar, sehingga tak membangkang dan memilih bergabung denganku. Sungguh kuhargai keberanianmu, Wiyoto. Hahaha….kupersembahkan pemandangan indah ini sebagai penyambutanmu dalam pasukanku.” “Ayo! Tunggu apalagi! Cepat habisi tikus-tikus itu!”perintah Jeff. Serentak semua prajurit menembak. Hujan darah turun deras di Sungai Lembayu. Teriakan, eraman, kemarahan, kekecewaan,sakit dan takut melebur menjadi satu. Warga kalap dan berlari tak tentu arah. Peluru menyambut di tiap penjuru. rencana mereka telah gagal, sia-sia. “Hentikan Jeff!” suara Sunardi menggelegar. Jeff tersentak. Ia menoleh. Sosok yang sangat dirindukannya. Semenjak Sunardi pergi ia tekatung-katung dan kehilangan arah. Entah sejak kapan Sunardi menjadi lentera di hatinya. Punggung dan bayangan yang selalu ia kejar lima tahun lalu menghilang begitu saja. Sunardi muak dengan negeri ini. Ia terlebih, sungguh sangat muak. Namun jalan yang mereka tempuh berbeda. Ia tak sesabar Sunardi, ia butuh pembaharuan. Jeff berlari ke arah Sunardi. Ingin sekali dipeluknya sahabatnya itu. “Sunardi…benarkah itu kau kawan?” “Bodoh kau Jeff. Lima tahun tak bertemu kau sungguh berbeda. Sangat gagah. Tapi sayang pasukan yang kau pimpin salah. Apa harapanmu mengangkat senjata dan melawan negeri ini,Bodoh?”kata Jeff. “Aku muak dengan negara ini Sunardi!” Tiba-tiba Sunardi roboh. Terlihat jelas beberapa lubang di punggungnya. Ia telah tertembak. “Sunardi! Sunardi sahabatkuuu….!” Jeff berteriak kalut. Tak disangka Sunardi, sahabat yang begitu ia sayangi, satu-satunya harta yang ia miliki,roboh di depannya, menjemput ajal di pangkuannya. “Bangun Sunardi….Banguuun…. kau memang bodoh!”isaknya. Dor! Pistol kecil terjatuh dari tangan Sunardi. Pelurunya melesat menembus jantung Jeff. Darah mengucur deras. “I…kut…lah ber…sama…ku ..Jeff… Du…nia ini.. terlalu busuk un..tuk..mu! Uhuk..!”darah segar muncrat dari bibir Sunardi yang bergetar. Ia telah sekarat. Sakit tak tertahankan. Dengan sisa-sisa nyawa terakhirnya ia memeluk Jeff. “Ma..af..kan a..ku…Jeff”ucapnya. Jeff menengadahkan kepalanya, memandang wajah sahabatnya. “teri…ma kasih……….Su..nardi……” ia tersenyum. Kemudian badanya terkulai lemas. Kini Jeff tinggal jasad. Ia telah mati. Namun Sunardi pun tak mampu bertahan. Secepatnya ia menyusul sahabat tercinta. ……… Sungai Lembayu memerah pekat oleh darah. Alirannya mengisyaratkan kepiluan dan menceritakan kisah perjuangan para pahlawan tak dikenal kepada siapapun yang melihatnya, yang ingin mendengar. Angin menangis pelan. Sahabat barunya telah tiada. Matahari perlahan menyembul dari rona merah awan. Namun temaram senja mendekap erat Sungai Lembayu…